Sabtu, 26 Februari 2011

PONDOKKU


PONDOK PESANTREN SUNAN DRAJAT 
Sekitar abad XV dan XVI Masehi, Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan, oleh Sunan Drajat yang bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel dijadikan sebagai pusat kegiatan dakwah, beliau mendirikan pesantren Dalem Duwur.
Sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal sosiawan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Beliau terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial sebelum memberikan pemahaman tentang ajaran Islam.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan usaha menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya.
Bagi yang pernah ziarah ke makam waliyullah ini, makam yang dapat ditempuh dari Surabaya maupun Tuban lewat Jalan Dandeles (Anyer-Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi, tentu melihat ajaran Sunan Drajat mengenai pengentasan kemiskinan yang terabadikan dalam sap tangga-tangga komplek Makam Sunan Drajat.
Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut; 1) Memangun resep teyasing Sasomo (Kita selalu membuat senang hati orang lain), 2) Jroning suko kudu eling Ian waspodo (Didalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada), 3) Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (Dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan), 4) Meper Hardaning Pancadriya (Kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu), 5) Heneng - Hening - Henung (Dalam keadaan diam kita akan mem¬peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur), 6) Mulyo guno Panca Waktu (Suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan sholat lima waktu), 7) Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita).
Sepeninggal Kanjeng Sunan Drajat, tongkat estafet perjuangan diteruskan oleh anak cucunya. Namun seiring bertambahnya waktu, pamor pesantren Sunan Drajatpun memudar dan akhirnya hilang ditelan masa.


Adalah Prof. Dr. KH. Abdul Ghofur, pria kelahiran Banjaranyar Paciran Lamongan tepatnya 12 Pebruari 1949. Selepas menimba ilmu agama (tahun 1965-1975) di beberapa pondok pesantren, mulai dari Pesantren Kramat, Sidogiri, Sarang, Lirboyo, Tretek dan juga Raudlatul Quran, beliau dengan semangat gigih bercita-cita meneruskan perjuangan Sunan Drajat di Banjaranyar.
Melalui pendekatan seni, beliau mengajak agar masyarakat mau kembali menegakkan syariat Islam, lebih-lebih pendekatan pada para pemuda. Waktu itu, beliau mendirikan club sepak bola, grup musik, serta perguruan ilmu beladiri yang diberi nama GASPI (Gabungan Silat Pemuda Islam).
Setiap selesai belajar pencak silat, beliau selalu menyelipkan pengajian dan pengarahan-pengarahan tentang ajaran Islam. Dan ketika latihan serta pengajian selesai, anggota GASPI diajak untuk mengambil pasir dari laut, guna keperluan pembangunan pondok pesantren Sunan Drajat. Pasalnya, waktu itu perjuangan Abdul Ghafur sudah mencapai usia sepuluh tahun, dan selama itu pula, beliau tidak mempunyai tempat pengajaran milik sendiri, masih menumpang di tempat warga. Setelah beberapa tahun, akhirnya perjuangan K.H. Abdul Ghafur menuai hasil. Kini, pesantren Sunan Drajat dihuni lebih dari 6000 santri putra dan putri dari berbagai daerah Indonesia dan telah memiliki bermacam-macam fasilitas.

SISTEM PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
PONDOK PESANTREN SUNAN DRAJAT

Sesuai dengan namanya, pesantren yang memiliki masjid megah ini bertali-temali dengan sejarah masa lalu perkembangan Islam. Utamanya wilayah sekitar Gresik dan Lamongan. Pesantren ini memiliki ikatan historis, psikologis dan filosofis yang sangat lekat dengan Kanjeng Sunan Drajat. Sehingga pengajaranpun tidak jauh dari apa yang dipakai oleh para walisongo.
Seiring dengan perkembangan zaman yang terus berubah dan melihat perkembangan masyarakat yang kian majemuk, sistem pendidikan dan pola pengajaran yang diterapkan oleh pondok pesantren Sunan Drajat pada khususnya, mengalami pergeseran pola dan metode secara dinamis. Pada rintisan awalnya, sekitar tahun 1977, sistem pendidikan dan pola pengajaran kitab di Pondok Sunan Drajat amat kental, diwarnai oleh dua macam metode pesantren salaf; bandongan dan sorogan.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, Pondok Sunan Drajat menganggap perlu, bahkan harus berbenah diri dan merubah sistem pendidikan serta pola pengajarannya, sebagai respon atas berbagai perubahan akibat laju perkembangan jaman. Dengan prinsip dasar mempertahankan tradisi lama yang baik serta masih relevan dan mengambil tradisi baru yang lebih baik, Pesantren Sunan Drajat melakukan reorientasi (peninjauan kembali wawasannya guna menentukan sikap) dengan memasukkan tambahan kurikulum pelajaran umum dan sistem pendidikan formal.
Dengan prinsip tersebut, Pesantren Sunan Drajat mencoba menggabungkan antara kebutuhan dunia dan kepentingan akhirat. Dengan tetap menjada tradisi salaf, bandongan, sorogan, serta upaya pengembangan Madrasah Diniyah, Mu’allimin Mu’allimat, juga Musyawwirin khusus santri senior). Di tanah seluas lebih dari 14 ha, kini pesantren itu berdiri megah. Berbagai jenjang pendidikan formalpun didirikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak, Madrasah Ibtidaiyah, SLTP, SMK dengan berbagai jurusan serta Universitas Islam. Tidak hanya itu, pesantren yang berakar kuat dari kearifan budaya lokal ini membekali wawasan, keterampilan dan penguasaan teknologi kepada para santrinya.
Pondok Sunan Drajat mengajarkan ke-NU-an yang fanatik, sehingga menjadikan kurikulum yang ada didalam pendidikan formalnya menjadi unik. Mulai dari libur pada hari Jum’at, sampai kewajiban menghafal ritual-ritual NU, contohnya tahlil. Pesantren ini mewajibkan hafalan tahlil bagi pelajar tingkat SMP sebagai syarat mengikuti semester, padahal, banyak sekali siswa-siswi sekolah yang tidak tercatat sebagai santri Pondok Sunan Drajat (masyarakat sekitar yang hanya mengikuti kegiatan formal saja).

SARANA DAN SUMBER PEMBIAYAAN

Sarana dan prasarana yang dimiliki Pondok Sunan Drajat hampir terbilang lengkap. Mulai dari gedung sekolah bertingkat, masjid (untuk santri putra) mushalla (untuk santri putri), balai pengobatan, perpustakaan, asrama putra dan putri, asrama guru, kantor agrobisnis, kantor lembaga pengembangan bahasa asing, kantor pelayanan administrasi dan keuangan, lab komputer, lab bahasa, ruang theater, ruang multimedia, MCK, koperasi dan dapur umum. Untuk sarana olahraga pesantren ini memiliki lapangan bola volly, bulu tangkis, basket, footshall, juga lapangan untuk upacara.
Pembangunan pesantren semi salaf ini memakan biaya 150 miliar rupiah, sebuah angka yang tidak sedikit. Namun, jumlah sebanyak itu dikeluarkan dengan sedikit bantuan masyarakat, karena memang pesantren ini memiliki banyak usaha.
Sampai saat ini usaha yang dikelolanya telah mencapai lebih dari sepuluh jenis. Diantaranya; 1) Penanaman mengkudu di tanah seluas 10 ha, 2) Pengembangan jus mengkudu berlabel ‘Sunan’, 3) Pembuatan pupuk majmuk dengan label ‘Guano Phospat’, 4) Pembuatan makanan ternak dan pakan ikan, 5) Pembuatan kemasan air mineral merek ‘Quadrat’dan Aidrat, 6) Peternakan bebek pedaging, 7) Penggemukan sapi dan kambing, 8) Kerajinan limbah kulit, 9) Pembuatan madu asma dengan tawon bunga, 10) Membuat minyak kayu putih ‘Bintang Kobra’, 11) Radio dakwah ‘Persada 97,2 FM’, 12) Mendirikan SMESCO Mart, 13) Koperasi dan 14) Baitul mal wa tanwil (BMT) Sunan Drajat. Semua usaha itu dikelola oleh pihak pondok dengan bantuan lembaga yang berkompeten.
Boleh dikata perkembangan Pondok Pesantren Sunan Drajat sangatlah pesat, dalam waktu yang kurang dari empat puluh tahun, sudah mampu meningkatkan berbagai hal. Banyak orang kampung sekitar berkomentar, bahwa kepesatan perkembangan pesantren itu merupakan buah dari pengamalan ilmu dan wasiatnya Kanjeng Sunan Drajat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar